
![]() |
Remaja di Kecamatan Kayuagung melaksanakan Tradisi Midang Morge Siwe untuk memeriahkan perayaan Idul Fitri. (Foto: Alda Mustika)
Konon katanya, tradisi ini diklaim masyarakat sudah ada sejak lama dan dikenal masyarakat setempat dengan nama Midang Morge Siwe.
Morge Siwe sendiri diartikan sebagai Sembilan Marga yang ada di Kecamatan Kayuagung, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Sembilan marga ini selalu ikut serta dalam kegiatan Midang Morge Siwe.
Kesembilan marga tersebut yakni Kayuagung Asli, Perigi, Kotaraya, Kedaton, Jua-jua, Sidakersa, Mangunjaya, Paku dan Sukadana. Dimana setiap tahunnya akan selalu mengirim peserta untuk mengikuti Tradisi Midang Morge Siwe.
Sementara itu, dalam proses pelaksanaanya, masyaraat setempat juga menyebut Tradisi Midang Siwe ini dengan nama Midang Babuke.
Disebut sebagai Midang Bebuke, karena kegiatan ini dilakukan dalam bentuk arak-arakan yang dikakukan pada hari raya Idul fitri, tepatnya pada hari lebaran ke tiga dan hari ke empat.
Midang Morge Siwe atau Midang Bebuke diikuti serentak oleh muda-mudi desa yang dipilih langsung oleh perangkat desa dari Sembilan Marga, kemudian para muda-mudi ini diseleksi kembali untuk dipilih sebagai pemeran utama dalam acara arak-arakan.
Ada dua peranan utama dalam kegiatan tradisi ini, yakni Maju Inti alias peranan sebagai pengantin perempuan dan Begian Ini alias pengantin laki-laki. Sementara itu, para muda-mudi lainnya akan berperan sebagai pengiring kedua pengantin dengan memakai pakaian tradisional khas Kecamatan Kayuagung, Kabupaten Ogan Kemering ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Muda-mudi yang terpilih akan melakukan peran sebagai Maju dan Begian sesuai hakikat pakaian yang digunakan seperti halnya paran pengantin sesungguhnya.
Pada hari pertama, dilakukan proses arak-arakan sesuai rute yang telah ditentukan dengan titik kumpul di Kantor Kelurahan Kayuagung. Arak-arakan dimulai dari keliling kampung, kemudian menuju Pendopo Bupati setempat.
Setelah datang, mereka akan disambut oleh pejabat daerah untuk dilanjutkan kegiatan lomba cang-icang. Lomba ini sendiri merupakan tradisi lisan (sejenis syair menggunakan bahasa daerah) yang biasanya ditampilkan dalam upacara perkawinan.
“Tahun ini sengaja kita buat berbeda dari tahun sebelumnya. Kita mengadakan lomba cang-icang. Lomba ini pesertanya dari Sembilan Marga yang ikut arak-arakan,” ungkap Jamaludin selaku Pemangku Adat Kelurahan Sukadana, OKI, Sumsel kepada KOLASI NEWS.
Pada hari kedua, para peserta akan kembali lagi melakukan arak-arakan seperti hari pertama. Kemudian melanjutkan lomba cang-icang dan ditutup dengan pembagian hadiah bagi pememang lomba.
Sementara itu, dalam prosesi arak-arakannya, Tradisi Midang Babuke juga diiringi musik tradisional Tanjidor dengan tujuan agar lebih meriah saat pelaksanaan arak-arakan.
“Memang ini kegiatan khusus untuk muda-mudi. Tapi, biasanya perangkat desa juga ikut iring-iringan juga. Sebagai bentuk partisipasi saja,” ucapnya.
Midang Bebuke sangat antusias diikuti muda-mudi Kayuagung. Hal ini terlihat dari keterlibatan sembilan kelurahan yang ada pada setiap tahun perayaan tradisi Midang Babuke.
Selain Midang Bebuke, warga Kecamatan Kayuagung juga memiliki Tradisi Midang Begorok atau juga disebut dengan nama Bersedekah Pernikahan.
Midang ini biasanya hanya dilakukan masyarakat setempat sesuai keinginan dari masing-masing keluarga yang akan melaksanakan acara pernikahan. Midang Begorok biasanya dilaksanakan sehari sebelum prosesi ijab kabul.
Perbedaan dari kedua tradisi Midang ini terletak pada keterlibatan warga yang ikut dalam pelaksanannya. Untuk Midang Bebuke biasanya diikuti oleh Morge Siwe (9 marga), sedangkan Midang Begorok hanya keluarga yang akan melaksanakan bersedekah pernikahan saja.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat lokal, asal-usul Midang Morge Siwe atau Midang Bebuke sendiri mengadopsi tradisi Midang Begorok. Dimana tradisi ini sudah ada sejak abad ke-16.
Latar belakang adanya Midang Begorok ini merupakan salah satu bentuk dari permintaan dari pihak pengantin perempuan, terutama keluarga orang tuanya kepada pihak pengantin laki-laki.
Menurut cerita salah satu tokoh masyarakat, Yuslizal mengatakan, dahulu kala pada abad ke 16 memasuki abad 17, seorang pemuda sederhana yang bernama Bastari disukai oleh gadis cantik keturunan ningrat yang bernama Julia.
Namun kisah cinta mereka ini tidak direstui dari keluarga Julia, karena Julia yang memaksa kepada orang tuanya maka pihak keluarga Julia meminta diadakannya Midang Begorok sebagai salah satu syarat untuk mempersunting Julia.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, Tradisi Midang Begorok ini sudah sangat jarang dilakukan masyarakat setempat dalam pelaksanaan adat pernikahan di era modern seperti sekerang ini.
Merespon kondisi ini, pihak pemerintah dan pemangku adat setempat melakukan tradisi serupa namun dengan sajian yang berbeda dari sebelumnya yang disebut dengan Midang Babuke atau Midang Moge Siwe. Hal ini dilakukan agar tradisi midang tidak hilang ditelan zaman.
Kendati adanya perubahan dalam pola pelaksanaannya, kemeriahan midang selalu dirasakan mayarakat Kayuagung. Bahkan, Tradisi Midang juga menjadi daya tarik wisatawan untuk datang mengunjungi Kecamatan Kayuagung, OKI, Sumsel. (Alda Mustika)